Sunday, February 20, 2011

karakter pemimpin militan

Belakangan ini kita dikejutkan dengan sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi begitu saja dihadapan kita, sebuah peristiwa yang lagi-lagi menunjukan kepada manusia tentang sisi kemanusiaan yang sesungguhnya. Suatu sifat yang paling mendasar yaitu kemerdekaan.
Sebuah kemerdekaan yang mengantarkan manusia menuju puncak eksistensinya. Menafikan segala kekuatan yang mengekang dan memaksa secara diktator hak-hak kemanusiaan yang secara fitrah telah dimiliki oleh manusia itu sejak ia dilahirkan sehingga ia yakin benar, bahwa ia bebas untuk menentukan segala aktifitas kehidupan untuk menjalankan peran-peran kemanusiaanya. Bebas untuk menentukan jalan hidup dan sistem hidup yang diyakininya, bebas mencari nafkah, bebas mengeluarkan pendapat, bebas mengelola Bumi.
Manusia itu ibarat sebuah aliran air, jika aliran itu dibendung, maka akan menghasilkan energi potensial yang semakin besar. Semakin besar energi potensialnya, maka semakin besar momentum yang dapat tercipta. Sehingga ketika energi potensial itu telah memenuhi batar ambang, maka penahan sekuat apapun kelak akan hancur, hanya perlu menunggu waktu. Sebab segala sesuatu memiliki usianya masing-masing. Demikianlah yang terjadi, masih jelah sibenak kita tentang revolusi mesir. Sebuah revolusi yang merupakan putusan akhir atas tekanan yang berlarut-larut membuat jenuh. Sebuah pembuktian sejarah tentang kekuatan manusia yang terhimpun dalam sikap dan perbuatannya, yang akhirnya menumbangkan rezim yang 30 tahun terakhir menghujamkan taringnya.
Revolusi ini memberikan gambaran kepada kita bahwa terjadi ketimpangan dan ketidak adilan dinegeri itu, sehingga segala bentuk kejenuhan dan kebosanan terakumulasi dan melahirkan people power sehingga terjadi revolusi.
Telah berulangkali dalam sejarah People Power berhasil menggulingkan sebuah pemerintahan. Sebuah kekuatan yang tidak dapat diantisipasi keberadaannya bahkan oleh militer yang memiliki kekuatan bersenjata sekalipun. Mereka menggulingkan pemimpin-pemimpinya yang diktator dan tidak memihak kepada rakyat.
Pada tahun 1986 People Power pertama kali terjadi, untuk menggulingkan presiden Ferdinan Marcos melaui gerakan EDSA. Presiden ini otoriter dan korup, bahkan agar dirinya tetap menjadi presiden, pada pemilu 1981 dia melakukan berbagai kecurangan, dan ini diulangi lagi pada pemilu 1986 yang membuatnya terpilih menjadi presiden Filipina untuk yang keempat kalinya. Pada tahun 1998, Presiden Indonesia digulingkan juga oleh People Power, karena bertindak otoriter dan menyuburkan korupsi, sehingga kemakmuran hanya dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya, sementara banyak rakyatnya yang tetap miskin, bahkan semakin miskin, dan angka pengangguran sangat tinggi. Lalu, yang terhangat adalah kejatuhan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali. Ia cenderung otoriter dan tak mau mendengarkan keluh kesah warganya, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran di negaranya sangat tinggi, sementara lawan politiknya yang mengkritik pola pemerintahannya, banyak yang dianiaya. Bahkan memasuki 2011, negaranya yang berada di Afrika Utara, dilanda krisis pangan. Dan yang terakhir terjadi adalah Mesir, dimana People Power selama 16 hari berhasil menggulingkan Presiden Husni Mubarrok yang juga diwarnai begitu banyak skandal dan penyiksaan yang berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, seperti penculikan aktivis yang vokal menyuarakan pola pemerintahannya, dan penyiksaan serta penahanan tanpa proses peradilan yang adil dan transparan.
Selain itu, suburnya korupsi membuat tingkat kesejahtaraan rakyat yang berada di luar lingkar kekuasaan sangat rendah, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi.
Jika kita menarik sebuah garis merah dari kejatuhan pemimpin-pemimpin besar tersebut, maka kita akan menemukan kesamaan sikap kepemimpinan yang akhirnya melahirkan gerakan massa yang begitu besar lalu menggulingkan mereka. Yaitu mereka cenderung otoriter, korup, tidak bersikap adil, dan yang terpenting tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Maka selanjutnya tidak sulit untuk menemukan pemimpin yang berhasil, diterima oleh rakyat, serta membawa negara pada puncak kejayaannya. Yaitu jika karakter kepemimpinan yang ditolak adalah sebuah tesis maka pemimpin yang berhasil adalah antitesisnya.
Thesis dan Anti Thesis dikembangkan oleh hegel dari Antinomi-antinominya Kant yang notabene membahas mengenai batas-batas dari rasionalitas kita atau merupakan kritik atas rasionalitas kita (Critique of Pure Reason) yang mengatakan bahwa kita tidak akan mampu memahami sesuatu yang sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub, bipolar. Kita akan selalu menemui jalan buntu (antinomi) yang berlawanan satu sama lain ketika berusaha memahami semisal waktu atau ruang.
Didalam Islam, persoalan kepemimpinan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam, karen sebagian ajarannya tidak dapat dilaksanakan jika aspek ini hilang. Semisal Hudud, hukum rajam dan yang semisal, hanya bisa dilaksanakan oleh pemimpin atas masyarakat Islam.Seperti yang disampaikan oleh Imam Qurthubi dalam tafsir Qurthubi jilid II hal 237 menegaskan hal ini.Demikian pula Syaikh Ali Ash-Shabuni dalam tafsir Ayatul Ahkam jilid II hal 32 menegaskan pula bahwa semua ulama sepakat bahwa pelaksana sanksi pidana terhadap orang merdeka adalah Imam/Khalifah.
Namun demikian tidaklah sulit untuk menemukan sosok pemimpin yang ideal menurut ajaran Islam, sebab selain ia telah dicontohkan oleh rasulullah dan generasi lalu, juga secara gamblang disampaikan dalam Al Qur’an. Adapun antitesis dari kepemimpinan diatas, didalam kitab Al Islam karya Said Hawwa adalah sebagai berikut.
Pertama ia harus beragama Islam. Dijelaskan dalam QS. Ali Imran: 28, Janganlah mengambil orang-orang yang mukminin orang¬orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya. Dan kepada Allahlah tujuan kamu. Sayyid Quthb menafsirakan bahwa Pada umumnya yang dimaksud adalah orang-orang yahudi, meskipun boleh juga mencakup orang musyrik. Maka, hingga saat itu sebagian kamu muslimin masih menjadikan wali terhadap kerabat mereka yang musyrik dan terhadap orang-orang yahudi. Kemudian dilaranglah semua itu dan diancamnya dengan ancaman yang keras. Baik para wali itu dari kalangan yahudi maupun musyrikin, semuanya dalam Al Qur’an disebut kafir.
Kedua ia harus Laki-laki; ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ahmad: Lan yufliha qoumun asnaduu amrohum ilamro-atin (Tidak akan beroleh kejayaan suatu kaum yang menyerahkan urusannya [kepemimpinan negara] kepada wanita). Tidak diperkenankan wanita menjadi pemimpin tertinggin, karena tabiatnya yang tidak memungkinkan baginya untuk memegang kepemimpinan sebuah negara, yang menuntutnya bekerja keras, bekerja secara kontinue, memimpin tentara, mengatur segala urusan tugas-tugas yang sangat berat dan melelahkan bagi kaum wanita.
Ketiga ia harus baligh; tidak gila, tidak kurang akal, dan bukan anak kecil sehingga dapat diberi beban tanggung jawab. Sebab tidak mampu seorang yang belum Baligh mampu menanggun segala kewajiban seorang pemimpin tertinggi.
Keempat berilmu; memiliki ilmu yang dapat menunjang tugasnya sebagai pemimpin. Seorang pemimpinn tidak hanya pakar dalam masalah hukum Islam semata, ia juga harus mempunya wawasan dan cakrawala pengetahuan yang luas meskipun ia tidak sampai pada taraf ahli dalam setiap spesialisasi pada ilmu-ilmu tersebut. Juga mengetahui tentang sejarah, dan pengetahuan negara-negara di Dunia, mengetahui undang-undang internasional, perjanjian-perjanjian internasional, dan juga pengetahuan tentang hubungan-hubungan politik, sejarah dan perdagangan negara-negara di Dunia.
Kelima adil; terhindar dari kekejian atau hal-hal yang merusak maru’ah. “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan rakyanya.” (HR. Muslim)
Demikianlah Pemimpin yang adil juga mendapat jaminan istimewa dari Allah SWT. Hadits sahih riwayat Imam Bukhari menyebutkan, tujuh jenis manusia akan mendapat naungan keteduhan dari Allah SWT pada saat menempuh alam Mahsyar kelak, yang panasnya tak terperikan. Yang pertama kali mendapat kehormatan tertinggi itu, adalah imamun ’adilun, pemimpin yang adil.
Posisi terhormat seorang pemimpin yang adil di mata Allah swt, sepadan dengan perjuangan berat yang dilakukannya di dunia. Betapa tidak, untuk menjadi seorang pemimpin yang adil, pertama sekali ia harus menjadi teladan dalam kebenaran dan keadilan. Sehingga ketika ia harus berani menegakkan kadilan bagi orang lain dan rakyatnya, ia tidak terkurung dengan kesalahan diri sendiri.
Dan yang terakhir Tidak cacat mental atau indera yang dapat mengganggu dan mengurangi kinerjanya.
Pada syarat-syarat mengenai pemimpin yang dijabar diatas agaknya ada dua syarat yang harusnya dapat dijadikan sebagai karakter pemimpin sebagai antitesa kepemimpinan diktator yang jatuh oleh kekuatan People Power. Yaitu Berilmu dan Adil.
Ilmu
Dikatakan bahwa orang yang beriman itu lebih utama dari orang yang berislam dan orang yang berilmu itu lebih utama dari orang yang beriman. Sebab dengan imunya seseorang itu tidak mudah untuk ditipu dan dibodoh-bodohi baik oleh orang lain maupun sistem. Dengan ilmunya ia mampu menempatkan diri seseauai dengan kondisi yang terjadi dan melakukan perbuatan yang tidak menyesatkan. Lalu dengan ilmunya seorang pemimpin dapat menyusun strtategi terbaik untuk mecanangkan program negara dalam rangka mensejahterakan rakyat. Dalam konteks Islam, maka pemimpin yang berilmu adala pemimpin yang menjadikan Qur’an dan sunnah sebagai ilmu yang harus ia gunakan dama menjaankan roda pemerintahan.
Imam Bukhari perihal tekun dalam mencari ilmu menyajikan apa yang disampaikan Umar bin Khattab. Umar berkata, "Pelajarilah agama secara mendalam sebelum kalian jnenjadi pemimpin." Abu Abdillah berkata, "Sesudah kalian menjadi pemimpin." Sesungguhnya para sahabat Nabi tetap menuntut ilmu walaupun sudah tua.
Ibnu Hajar, menyatakan tentang Umar berkata, "Dalamilah ilmu agama sebelum kalian menjadi pemimpin." Al Kasymihani menambahkan dalam riwayatnya. "Dan setelah kalian menjadi pemimpin." Sedangkan perkataan Umar dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalur Muhammad bin Sinn daii Al Ahnaf bin Qais bahwa Umar berkata
(Seperti disebutkan di atas). Sanad hadits tersebut adalah shahih. Maksud Imam Bukhari menambahkan "dan setelah kalian menjadi pemimpin" adalah agar tidak menimbulkan kesan bahwa seseorang diperbolehkan untuk tidak mendalami agama jika telah memperoleh kekuasaan, karena maksud dari perkataan Umar adalah bahwa kekuasaan sering menjadi penghalang seseorang untuk mendalami agama. Sebab, terkadang seorang pemimpin - karena perasaan sombong dan malunya- tidak mau duduk dalam majelis bersama para penuntut ilmu. Maka Imam Malik mengomentari tentang keburukan para qadhi (hakim) dengan berkata, "Jika seorang hakim telah turun dari jabatannya, maka ia tidak mau kembali ke dalam majelis yang pernah diikutinya." Imam Syafii juga berkata, "Apabila tet jadi berbagai peristiwa, maka ia tidak akan banyak mengetahui. "
Adil
Sungguh, pemimpin yang adil dicintai dan didukung penuh oleh rakyatnya. Keberadaannya membawa kedamaian dan kesejahteraan yang memuaskan dahaga semua orang. Memenuhi hak setiap orang, sehingga tiada seekor semut sekalipun melainkan ia merasakan keadilan dari seorang pemimpin.
Imam al-Mawardi (salah seorang ulama pengikut madzhab Imam asy-Syafi’i) berkata, dalam kitab beliau yang berjudul Adab ad-Dunya wa ad-Diin, “Sesungguhnya di antara perkara yang dapat membuat baik keadaan dunia ini adalah keadilan yang menyeluruh dan mencakup semua sisi kehidupan. Keadilan akan mengajak manusia untuk berbuat baik terhadap sesama, membangkitkan semangat untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dengan keadilan, dunia akan dipenuhi dengan kemakmuran, harta benda akan berkembang dan bertambah banyak, penguasa akan merasa aman dan pemerintahannya akan berumur panjang. Tidak ada sesuatu yang lebih cepat menghancurkan dunia dan merusak serta mengotori hati-hati manusia daripada kezhaliman yang merupakan lawan dari keadilan.”
Dengan keadilan seorang pemimpin, dia akan membawa suasana kehidupan yang tentram dan damai di dalam masyarakat dengan diwarnai dengan hubungan harmonis antara ro’in (pengembala/pemimpin) dengan ro’yah (rakyat/yang dipimpin) sehingga tumbuh rasa saling cinta-mencintai dan saling doa dan mendoakan, dengan keadilan pemimpin rakyat akan senang, merasa terayomi, mudah diatur dan diarahkan untuk berjuang menuju kebaikan, masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah (baldatun toyyibatun warobbun ghofur)
Berkembangnya kwalitas sumber daya manusia (SDM) di seluruh pelosok yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan kesemangatan untuk belajar dan amar ma’ruf.
Terwujudnya sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan yang cukup memadai karena masyarakat terutama aghniya’nya (orang kaya) dermawan ridho dan ikhlas menyisihkan sebagian hartanya untuk keperluan fasilitas umum seperti tempat ibadah dan pendidikan serta merasa bersyukur bisa ikut andil dalam perjuangan dan punya amal jariah yang banyak.
Meningkatnya kesejahteraan dan ekonomi masyarakat karena banyak angkatan kerja yang bisa terserap sehingga mendapat penghasilan yang memadai serta masyarakat dapat diberdayakan dengan usaha mandiri yang halal.