Monday, November 3, 2014

Tugas Kekholifahan Untuk Jokowi

gambar : Presiden RI 2014/2019 Ir. H. Joko Widodo
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.(Q.S 3: 189)

Ayat diatas menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan melainkah itu adalah milik Alloh Swt. Namun demikian, Alloh menjadikan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan administratif diantara manusia dengan cara memutuskan pada salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Sebab itulah tujuan manusia diciptakan, selain sebagai seorang hamba yang menyembah hanya kepada Alloh Swt, manusia juga diciptakan sebagai kholifah.

Menurut bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya.

Sedangkan dalam pengertian syariah, Khalifah digunakan untuk  menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad SAW (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Negara Islam.Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn (أمير المؤمنين) atau “pemimpin orang yang beriman”.

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda mengenai kedudukan Khalifah. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan ada banyaknya definisi untuk khalifah

Beberapa definisi khalifah menurut para ulama:

menurut, Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Khalifah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia

menurut, Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khalifah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat .

menurut, Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Khalifah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia

Dalam terminologi modern, peran-peran kholifah sepadan dengan peran yang diemban oleh seorang kepala negara. Pada kolom kompas, tertanggal 3 November 2014, berjudul "NKRI Sesuai Ajaran Islam", menerangkan bahwa  Kholifah dapat diterjemahkan sebagai kepemimpinan nasional yang dipilih lewat sistem demokratis seperti berlangsug di Indonesia sekarang.

Khilafah, disebutkan merupakan konsep kepemimpinan yang memberikan mandat kepada seseorang terpilih untuk memimpin umat. Pemimpin ini disebut Kholifah karena dia menjadi pengganti Tuhan untuk memimpin Ummat Manusia.

Maka di Indonesia, presiden yang dipilih oleh rakyat adalah juga seorang Kholifah. Dalam hal ini Joko  widodo adalah Kholifah.

Hanya saja, kekhalifahan itu hanya berlaku sah bila penanggungjawabnya melaksanakan kehendak Allah atau syariah. Apabila Allah adalah penguasa yang sebenarnya, maka syariah merupakan ungkapan kekuasaan itu, sedang tugas para khalifah-Nya adalah menerapkan hukum-hukum syariah.

Itu sebabnya, dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, ketaatan kepada pemerintah penyelenggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah mereka tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Kendati begitu, harus segera dicatat bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang remeh, karena tanpa kehadirannya suatu tata tertib sosial yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah kiranya akan sulit diwujudkan.

Sesungguhnya khalifah atau imam atau kepala negara menjalankan administrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan tersebut. Jadi, ia menunaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para menteri, gubernur, pekerja (pegawai dan pemerintah) daerah, hakim dan lainnya kita mungkin dapat meringkas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini: menjaga keamanan dalam negeri membela negara, baik tanah air maupun rakyat; melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar (negeri); dan mencegah setiap penyelewengan dan penyimpangan atau pelecehan (tasywih). Begitu juga menunaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya: dengan menegakkan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan serta melanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang yang miskin, menarik pajak yang diwajibkan negara atau (mengumpulkan) harta yang diizinkan syara’; menjaganya dan membelajakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengangkat orang-orang yang akan melaksanakan seluruh aktivitas pembelanjaan (negara), keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi. Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya. Karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan. bagi Ibnu Taimiyyah sangat penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan orang. Ibnu Taimiyyah jelas nolak pernyataan bahwa seorang raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan.Dan juga, ia tidak berpandangan bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural. Teori Ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan teori Imamah Syi’ah yang sangat ditentang keras oleh Ibnu Taimiyyah. Pernyataan Ibnu Taimiyyah seperti “Inna al-Sulthan Zhill Allah fi al-Ard” (Sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi) seharusnya tidak dapat ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh kekuasaan dari Tuham. Sebab, di bagian lain, Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hamba-hamban-Nya, tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba (al- Wulat Nuwwab Allah ‘Ala Ibadillah wa Wukala’ al-Ibad ‘ala nufusihim).Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang Mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjukannya sebagai wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenankan menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh Yang Mengangkatnya, Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanat orang-orang yang diwakilinya.

Jadi, Jokowi layak menjadi seorang kholifah (presiden), ketika dia menjadikan kekuasaan yang dimilikinya untuk menjalankan syari'at Alloh Swt. Jika ia tidak menjalankan seperti yang seharusnya, maka segala sesuatu sesungguhnya adalah milik Alloh, dan akan kembali kepada Alloh. setiap orang, akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Alloh Swt.

ref :

http://marcomm.binus.ac.id/lecturers-journals/kekuasaan-politik-dalam-pandangan-ibnu-taimiyyah-dan-abul-ala-al-maududi/.

http://khalifah000.wordpress.com/pengertian-khalifah/.

http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah.

No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik meninggalkan jejak..