Tuesday, July 25, 2017

Pencarian Sang Penenteram Jiwa


Jangan Tanya dimana Sang Gadis, dia ada dipelaminan terpisah.
Ini tentang sebuah kisah menemukan Penenteram Jiwa, Zaujaty.

Setiap orang memiliki kisahnya sendiri, dan itu pasti kisah terbaik dalam hidupnya. ketika Pemuda dengan langkah berani mengutarakan maksud kepada seorang Ayah untuk meminang putrinya atau seorang perempuan shalihah yang merasa resah karena ada Laki-laki Shalih yang datang meminta dirinya pada Ayahnya.

Dan ini kisah penulis menemukan penentram jiwanya.

Setiap orang memiliki kisah penantiannya masing-masing. Dan bagi penulis, menemukan penenteram jiwa tidaklah selalu sesegera yang diharapkan. Seperti sebuah perjalanan, selalu ada perhentian untuk menguraikan beban dan mengumpulkan kembali harapan, Jika jalan yang hendak dilalui tak mengarah pada tujuan, maka selalu ada waktu untuk berhenti, dan mencari jalan yang lain, yang lebih baik, yang lebih dekat mengarahkan pada tujuan.

Setahun berlalu, sejak kerumitan mulai terurai dan harapan kembali menguatkan otot-otot yang yang kaku. 

Ramadhan 1437 H. Dan setiap Ramadhan, adalah waktu-waktu yang baik  untuk bertafakkur, tilawah, dan menguatkan doa-doa. Memperbanyak dzikir dan istighfar, menghidupkan malam-malamnya serta menguatkan sendi-sendi ibadahnya. 

Ramadhan 1437 H, ketika doa-doa semakin panjang diutarakan, terselip satu doa yang sederhana kepada Sang Maha Pencipta. Doa Sederhana, yang selalu dilantunkan dalam kesempatan beribadah kepadaNya. Doa sederhana yang semakin kuat mengguncang lagit dipenghujung malamnya. Doa sederhana, yang tumbuh dari hati nurani. Doa sederhana yang menguatkan harapan pada Sang Khalik. 

Doa sederhana itu, "Ya Tuhanku, uraikanlah beban jiwaku, dekatkan aku dengan takdirku".

Maksudnya penulis berdoa kepada Allah Swt. agar Allah Swt. menurunkan ketenangan dalam hatinya yang bersumber dari kekalutan hati, atas berbagai persoalan yang dialami penulis kala itu. Selanjutnya penulis berdoa agar Allah Swt, mendekatkan penulis dengan takdirnya, yang dimaksud adalah jodohnya. Pun demikian Allah lebih tahu mana yang baik bagi hambaNya.

Seperti Ramadhan biasanya, ketika memasuki akhir, Ibadah semakin kuat, tilawah semakin banyak dzikir semakin panjang, malam-malam semakin dihidupkan. Doapun semakin kuat diutarakan. Sepuluh Ramadhan terakhir, pembuktian doa yang dikabulkan.

Tanggal 29 Ramadhan, ketika selesai menunaikan sholat magrib, Allah Swt. Menanamkan kekuatan yang luar biasa bagi penulis untuk meminang anak seseorang yang penulis kenal karena suatu kegiatan. Waktu itu, penulis terlibat dalam penyelenggaraan sebuah kegiatan, dan ditugasi untuk mengundang Ayah gadis tersebut untuk mengisi kegiatan. Saat penulis berkunjung, penulis berkenalan dan banyak bercerita dengan beliau. Saat itu penulis masih belum tahu kalau Ayah gadis tersebut memiliki seorang putri. Belakangan dari keluarga, peunulis mengetahuinya, hanya sebatas tahu. Kalau dia (Ayah gadis) memiliki seorag putri.

Ba'da magrib, usai menunaikan sholat magrib, Allah Swt. menanamkan kekuatan yang luar biasa dalam hati penulis untuk meminang putri Ayah gadis tersebut. Tetapi karena belum yakin betul, penulis luangkan waktu untuk duduk hingga waktu Isya, barangkali itu hanya bisikan syahwat, yang bersumber dari kekhilafan penulis. Menjelang Isya, penulis menunaikan sholat Isya, lalu berdoa memohon petunjukan kepada Allah Swt. agar diberikan kemudahan. Tetapi justru setelah itu, semakin kuat dorongan untuk meminang.

Selanjutnya penulis benar-benar menuju kediaman ayah gadis. Sesampai disana Alhamdulillah, Ayah gadis sedang ada dirumah. Penulis menngucap salam dipersilahkan duduk, kebetulan penulis membawa daging, jatah patungan potong sapi. dua bungkus. Satu bungkus penulis serahkan kepada Ayah gadis. Belakangan kisah daging ini, selalu jadi pemanis hubungan penulis dengan pacar, eh.. istri maksudnya. 

Dipersilahkan duduk, penulis bercerita dengan Ayah gadis. hingga hampir satu jam lamanya. Sungguh, satu jam itu adalah satu jam terpanjang yang pernah terjadi pada penulis. Betapapun niatan hati penulis untuk meminang putri ayah gadis begitu kuat dalam hati, betapapun pilihan diksi telah terpampang dalam benak penulis begitu jelasnya, namun lisan serasa kelu, dan berat untuk mengungkapak isi hati, untuk membeberkan kata-kata.

Hingga ketika hati semakin tak mampu membendung rasa, dan jiwa semakin memberontak, lisan akhirnya luluh mengucapkan kata-kata magis. 

Kata penulis kepada Ayah Gadis, "Bapak, adakah Bunga yang tak berpagar dirumah ini?". 

Benar-benar magis. FYI itu kalimat diajarkan oleh Ibu ketika pada satu waktu kami sedang berkumpul dan bercanda tentang meminang.

Benar-benar magis. Sebuah kalimat, yang tak menampakkan, tapi menjelaskan maksud yang hakiki. "Bunga yang tak berpagar?". Entahlah..

Mengucapkannya serasa menjadi pahlawan, yang memenangkan perang Badar. Sekian detik merasakan kehebatan menjadi seorang Lelaki, yang datang meminang Putri Ayah Gadis. Sendiri tak berpengawal. Benar-benar telanjang. Menghempaskan diri dalam terkaman selidik, tentang apa yang menjadi bekal perang. 

Selanjutnya, Singkat cerita, Lamaran diterima. Prosesi adat dilangsungkan, dan pernikahan diadakan. Kalimat suci diucapkan, dan begitulah. penenteram jiwa telah ditemukan.

Dan itulah, ketika pertama kali, kita dipertemukan, pertama kali kita berhadapan, bertama kali kita bersapaan, persis setelah akad nikah diucapkan.  Alhamdulillah.










No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik meninggalkan jejak..