Tuesday, April 29, 2014

Soekarno & Inggit Garnasih

Inggit Garnasih : Kusnoku, kuantar kau ke Gerbang
Ramadhan K.H., Mengisahkan dengan indah perjalanan politik Soekarno dari sudut pandang seornag wanita. Seorang wanita yang merupakan tempat mencurahkan seluruh isi hati dan buah pikiran Soekarno. Gagasan mengenai kemerdakaan Indonesia, serta kesatuan tekad untuk membebaskan diri dari cengkraman kolonialisme dan pendudukan penjajah.

Ramadhan K.H secara apik menampilkan romantisme sebuah keluarga dan kisah cinta yang berliku. Sukarno muda, kuliah di Bandung sebenarnya telah memiliki seorang istri, anak gurunya, seorang yang banyak mempengaruhi pola pemikiran dan semangat perjuangan Sukarno. Salah satu pahlawan nasional, pemimpin Sarekat Ilsam, HOS Tjokroaminoto. 

Namun karena terpaut usia psikologis yang besar, Sukarno merasa tak cocok dengan Utari Tjokroaminoto. Waktu itu sukarno telah terlibat dalam pergerakan, serta dalam usaha-usaha meraih kemerdekaan. Ramadhan K.H menuliskan, dalam curhat Sukarno kepada Inggit Garnasih (Ibu Kos), bahwa Utari terlalu kekanak-kanakan, itulah sebabnya Sukarno tak berhasrat kepadanya. Bahkan karena sifatnya tersebut, Utari oleh Sukarno dianggapnya adik. 

Sebuah situasi rumah tangga yang kurang cocok bagi Sukarno muda. Saat itu yang dibutuhkan Sukarno adalah seorang pendamping yang dapat mengimbangi situasi psikologisnya. Seorang wanita yang pengayom, keibuan, dewasa, serta sambung-menyambung ketika diajak berdialog mengenai pergerakan. Dan tak lama kemudian Utari ia kembalikan ke keluarganya.

Dalam masa sekolah di Technische Hogeschool (THS) itu, Sukarno muda indekos di rumah salah seorang kenalan yang dulu bertemu di Sarekat Islam, H. Sanusi. Sebagai seorang yang bersemangat dalam pergerakan, pertemuan dengan keluarga H. Sanusi merupakan takdir yang baik, karena keduanya sama-sama aktif dalam pergerakan. 

Namun demikian meski keduanya aktif dalam usaha-usaha meraih kemerdekaan, mereka jarang bertemu mendialogkan tema-tema strategis kala itu, sesekali saja terjadi. H. Sanusi mengahabiskan waktunya diluar rumah, pergi kedaerah-daerah lain. Hal ini menyebabkan Sukarno muda ketika sepulang dari kuliah atau dari diskusi-diskusi bersama teman-teman sepergaulan, mencurahkan pemikiran-pemikirannya, kadang keluhannya, kadang keresahannya, kadang mimpi-mimpinya, kadang pemikirannya dengan Inggit Garnasih, Istri H. Sanusi.

Rupanya Intensitas pertemuan antara Sukarno dan Inggit yang tinggi, memberikan efek lain. Sukarno merasa nyaman dengan Inggit, dan Inggit sebagai seorang yang memiliki jiwa kemandirian, begitu terpukau dengan Sukarno muda yang penuh semangat dan memiliki pemikiran-pemikiran yang revolusioner. Hingga pada akhirnya Sukarno muda menyatakan cinta kepada Inggit. Gayung bersambut, Inggit pun merasakan yang sama. Dan terjadilah hubungan antara dua orang beda kelamin itu.

Menyadari bahwa apa yang menimpa mereka salah, mereka putuskan untuk bertanggungjawab dan meluruskan. Sukarno menyatakan keseriusan kepada H. Sanusi terkait perasaan dan hubungannya dengan Inggit, istrinya. Oleh Ramadhan K.H, H. Sanusi digambarkan sebagai sosok yang baik, dan pandai memahami situasi. Bagi H. Sanusi, Inggit adalah istrinya, dan ketika semua telah jelas baginya, maka dengan legowo, ia menceraikan Inggit. Yang setelah itu, lalu Sukarno muda meminang Inggit, dan mereka berdua membina keluarga.

Inggit Garnasih, Perempuan pendamping Sukarno. Bagi Inggit, Sukarno bukanlah yang kedua, Sukarno adalah suaminya yang ketiga. Suami pertama Inggit seorang Kopral Residen bernama Nataatmadja, lalu yang kedua H. Sanusi dan yang ketiga barulah Sukarno.

Inggit Garnasih kelahiran Bandung, 17 Februari 1888, terpaut 13 tahun lebih tua dengan Sukarno. Namun itu tak jadi penghalang, kedewasaan, dan kemantang psikologislah yang menyebabkan mereka merasa cocok satu dengan yang lainnya.

“Perawakannya kecil, sekuntum bunga merah yang cantik melekat di sanggulnya dan suatu senyuman menyilaukan mata,” kenang Bung Karno.

Usai melangsungkan pernikah dengan Inggit pada tahun 1923, Sukarno terus melanjutkan sekolah, dan terus terlibat dalam usaha-usaha dan diskusi-diskusi mengenai pergerakan. Sangat sering, Sukaro mengajak kawan-kawannya untuk datang kerumah, berdiskusi tentang pergerakan hingga larut malam. Dan bagi Inggit, sebagai seorang istri, dengan sigap melayani para tamunya. Tak jarang ia juga terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan mereka.

Inggit wanita yang mandiri, dan ulet. Sejak kecil ia menempa diri menjadi wanita yang mandiri. Suatu hari ia mengumpulkan barang sisa dipasar, dan dijualnya lagi. Ketika menikahpun ia bertekad tidak akan menggantungkan kebutuhannya kepada suami. Seluruh pekerjaan yang bisa menghasilkan uang ia lakukan. Menjahit, menjual makanan, menerima pesanan, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang, ia memenuhi kebutuhan Sukarno menggunakan uang yang diperolehnya.

Membina rumah tangga dengan Sukarno bagi Inggit tak mudah. Rentang usia yang jauh tak jarang menyulitkan bagi Inggit. Namun demikian ia berusah keras beradaptasi dengan kondisi itu. Baginya, Kusno (paggilan sukarno muda), adalah cintanya, berbakti dan mencintainya apa adanya Kusno telah menjadi tekadnya.

Sukarno adalah orang yang memiliki kecerdasan sebagai seroang pemimpin. Berintegritas, pandai bergaul, dan yang paling menonjol adalah ia memiliki kamampuan retoris yang handal. Di dukung oleh karismanya sebagai seroang pemimpin, Sukarno selalu menghipnotis para pendengar ketika ia berpidato dilapangan terbuka, di konferensi dan pertemuan lainnya. Suaranya lantang dan penguasaan intonasi yang baik.

Namun demikian, pemikirannyalah yang membuat ia dapat diterima oleh banyak orang, oleh berbagai elemen dan golongan. Sukarno hadir ditengah-tengah golongan yang memiliki semangat perjuangan yang sama, namun belum mau bersatu. Ia seperti penerang ditengah-tengah kebingungan, disaat setiap golongan memperjuangkan kemerdekaan dengan sendiri-sendiri, Sukarno mengupayakan persatuan dan kesatuan semua golongan. Inilah sebabnya ia diterima oleh golongan kiri, dan golongan kanan, oleh rakyat dan bangsawan.

Ia memimpikan Indonesia yang merdeka, seutuhnya. Mandiri. Yaitu memenuhi kebutuhanya sendiri, dengan sumber daya alam negeri sendiri, diolah dengan tangan sendiri, dan hasilnya kembali dinikmati sendiri. Tak boleh ada intervensi dari orang lain. Inilah yang oleh Sukarno menjadi Konsep Marhaenisme.

Suaminya adalah seorang pemimpin, Inggit menyadari betul tentang hal iitu. Ia tahu bahwa suatu hari Kusno akan menjadi orang penting dinegeri ini, orang yang akan turut andil dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan tekadnya menjadikan laki-laki disampingnya itu meraih impiannya.

Maka ketika Sukarno sepulang menggalang persatuan rakyat untuk kemerdekaan Indonesia, ia pulang dengan wajah yang lesu dan layu. Rupanya ia kelelahan meyakinkan berbagai orang untuk bersatu mewujudkan kemerdekaan, terbersit dalam hatinya untuk berhenti. Melihat gelagat ini, Inggit sebagai seorang istri tak membiarkan laki-laki itu kalah. Impian Sukarno telah pula menjadi impian Inggit. Artinya jika Sukarno hancur, maka hancurlah dirinya. Inggit wanita pantang menyerah, tak kalah oleh besarnya rintangan. Diajaknya Sukarno dalam peraduan, diajakanya bicara dari hati-kehati, ia kuatkan Sukarno, ia bangkitkan kembali semangat dan kebesaran cita-cita Sukarno, hingga Sukarno kembali kepada dirinya yang semula. Begitulah jika terlihat Sukarno akan mundur, maka Inggit akan setia mendampingi dan menguatkan Sukarno.

Inggit pula yang sabar mendampingi Skarno ketika ia dipenjara oleh pemerintah kolonial. Dengan sabar ia mendampingi suami, Sukarno ia kirimi makanan, dia selipkan surat kabar agar Sukarno tetap mengikuti perkembangan. Meski bagi Inggit hatinya remuk redam melihat penderitaan Suami, namun ia putuskan untuk menjadi wanita kuat. Inggi turut pula mendampingi suami ketika Sukarno diasingkan di Ende. NTT. Juga ketika dibengkulu dan Bukit Tinggi.

Dalam masa pembuangan itu, suatu kali Sukarno terlihat murung, diam, dan nampang tak memiliki semangat hidup. Segeralah Inggit meraih tangan Sukarno, diajaknya berlari menuju pantai. melihat deburan ombak dan menyaksikan bintang-bintang. Inggi mencoba merajuk pada Sukarno, mencandainya, hingga nampaklah kembali senyum pada diri Sukarno.

Namun rupanya takdir tak selalu yang diinginkan. Kondisi Inggit rupanya tak mampu menjangkau impian Sukarno yang tinggi. Bagi seorang wanita mendampingi suami adalah anugerah dan nikmat yang besar. Tetapi bagi Sukarno, ada yang kurang dalam keluarga itu. ya, seorang anak. anak biologis. Inggit tak bisa memberikan keturunan.

Meskipun, dalam keluarga mereka telah ada Ratna Djuami, anak angkat mereka, anak dari saudara keluarga Inggit, Juga Kartika Sukarno, namun tak mampun menepis kerinduan Sukarno pada anak keturunan biologisnya. Hingga pada akhirnya keduanya memutuskan berpisah pada tahun 1943.

Inggit tak mau dimadu. Sebagai seorang wanita tradisional, pantang bagi inggit dalam keluarganya untuk dimadu oleh seorang laki-laki. pendiriannya teguh, bagai batu karang yang tak goyah dihempas ombak lautan. Itu juga karena cintanya pada Sukarno, akhrinya ia merelakan laki-laki itu. Ia hanya sanggup mendampingi Sukarno menuju gerbang impiannya.

Begitulah, bagi Inggit, ia telah mengantarkan laki-laki itu.

------------------

Bagusnya nonto film sukarno @Film_Soekarno

No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik meninggalkan jejak..